Komisi
Pemberantasan Korupsi Merupakan “anak angkat”
DPR. Komisi Pemberantasan Korupsi diberi mandat oleh ayahnya untuk melaksanakan
tugas memberantas Korupsi dinegeri pertiwi ini. Dengan berlandaskan Undang
Undang No.30 tahun 2002 Komisi Pemberantasan Korupsi telah melaksanakan tugas dengan mengkandangkan para koruptor di jeruju
besi. Tidak cukup sampai disitu, KPK juga menyerang ayah angkatnya sendiri yang banyak menyimpan tikus-tikus berdasi.
Tidak sedikit dari mereka dijebloskan ke penjara oleh anaknya sendiri.
Keadaan ini
membuat anggota DPR geram dengan tingkah laku anak angkatnya KPK. Sehingga
anggota DPR berusaha melumpuhkan KPK agar tidak “nakal” mengusik kenyaman tikus
berdasi menggorogoti uang rakyat. Dengan menyatroni satu persatu senjata yang
dimiliki KPK. Mempreteli setiap baut untuk merobohkan mesin perontok korupsi
ini.
Tapi Abraham
Samad sebagai nakhoda tidak patah arang
untuk melawan terjangan ombak yang terus menghantam KPK. banyak dukungan yang terus mengalir baik
dari aktivis, masyarakat luas bahkan Mahfud MD terus mendukung eksitensi KPK
sebagai garda terdepan dalam membasmi para Koruptor.
ingar bingar para
wakil rakyat mencanangkan untuk merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan
Korupsi santer di media massa. Saat ini mereka sudah menyiapkan draf rancangan
revisi dan menyerahkan kepada badan Legislasi DPR.
Tidak
tanggung-tanggung mereka ingin mengamputasi kewenangan yang sangat urgen bagi
KPK dalam melakukan penyelidikan kasus korupsi.
Isu yang
beredar DPR akan mengamputasi beberapa kewenangan KPK yang dianggap terlalu super body. Ada beberapa pasal yang
kontroversial diantaranya pembentukan Dewan pengawasan KPK yang ditunjuk oleh
DPR, pengembalian fungsi penuntutan KPK ke Kejaksaan Agung, penyadapan harus
dengan persetujuan pengadilan dan pemberian kewenangan penghentian perkara melalui
surat perintah penghentian penyidikan.
Mencermati isu
draf yang akan disiapkan oleh DPR tentu sangat mengancam keperkasaan KPK dalam memberantas korupsi. KPK tidak berdaya jika kewenangan harus di amputasi oleh DPR. Bayangkan disaat
KPK membutuhkan bukti yang kuat untuk menjerat koruptor harus mendapat restu
dari pengadilan, butuh waktu berapa lama
untuk menyelesaikan sebuah kasus.
jangankan ingin mendapatkan mangsa, mangsa yang di incar sudah pasti
kabur meninggalkan peranakkannya.
Para DPR
terhormat seperti Kancil yang memiliki seribu cara untuk mengamputasi authority (wewenang) KPK. Sungguh sangat “kejam”, ditengah masyarakat
masih dijerat kemiskinan, dipasung
ketidakadilan penguasa, para anggota DPR terus menjelma Menjadi “drakula” terus
“menghisap” dan “menjarah” APBN negara yang merupakan kas kesejahteraan rakyat.
Kemiskinan
terjadi karena ketiadaan akses untuk mendapatkan sesuatu yang urgen dalam
menjalani hidup. Seperti air bersih rumah layak huni, lahan dan benih (bagi petani),
alat kerja (nelayan), makanan bergizi, pendidikan, pelayanan kesehatan,
lingkungan hidup yang sehat dan lapangan pekerjaan. Dengan demikian, alangkah sempitnya
standar kemiskinan badan pusat statistik yang menghitung angka kecukupan gizi
2.100 kalori per hari, setara dengan Rp 155.615 perbulan per orang. Bank dunia
mencatat sekitar 50 persen rumah tangga di indonesia tergolong rentan miskin
akibat krisis ekonomi, tingkat kerentanan dikota sekitar 29 persen jauh lebih
rendah dibandingkan kawasan pedesaan yang mencapai 59 persen. Data itu juga
menjelaskan tingkat urbanisasi yang tinggi dan ketimpangan pembangunan antar
kawasan, antar wilayah dan antar daerah.
Sebelum
krisis, volume APBN kita dibawah Rp100 triliun dan PDB Rp 877 triliun. Saat itu
kasus kemiskinan 22 juta orang. Kini APBN Rp 1.200 triliun dan PDB mendekati Rp
7.000 Triliun tetapi kasus kemiskinan justru meningkat menjadi 31 juta orang
(data 2011). Angka kemiskinan 2010 saja menurut Badan Pusat Statistik adalah
31,2 juta atau 13,33 persen. Angka
tersebut juga belum memasukkan mereka yang tergolong tidak miskin, tetapi
sangat rentan terhadap kemiskinan, yang angkanya bahkan jauh lebih besar dari
yang miskin absolut.
Jika
menggunakan standar garis kemiskinan yang berlaku internasional yakni pendapatan
2 dollar AS per hari, jumlah penduduk miskin masih 42 persen atau hampir 100
juta lebih. Ini hampir setara dengan total penduduk malaysia dan Vietnam
digabungkan. Artinya, indonesia adalah rumah sebagian besar penduduk miskin
Asia Tenggara.
Coba kita
tilik lingkungan sekitar kita, masih
banyak daerah tertinggal, memburuknya angka kematian ibu dan bayi, masih tinggi
angka anak putus sekolah masih sangat besarnya jumlah mereka yang dianggap layak menerima Raskin,
dan jaminan kesehatan masyarakat. Tetapi pada kenyataannya itu jauh dari
harapan. Masih banyak masyarakat yang tidak bisa menikmati Raskin dan Jaminan
Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS).
Korupsi dan kemiskinan seperti dua pembalap
yang saling mengejar di sirkuit. Disaat tingkat kemiskinan tinggi, tingkat korupsi juga meluncur naik.
Didalam
bukunya Migraciones, Eligo Ayala mengungkapkan:
(Ketika kita memerangi kemiskinan, korupsi
menjadi target penting dari upaya kita. Korupsi, baik di dalam pemerintahan
maupun swasta adalah perampasan terkeji yang kita rasakan karena Ia akan merampok fakir miskin dan kaum melarat
sebelum yang lainnya. Ia (korupsi) menghalangi anak-anak kita untuk mendapatkan
pendidikan yang layak sehingga merusak fondasi masa depan anak mereka. Ia
(korupsi) mencuri akses para lanjut usia
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan medis yang sangat mereka
butuhkan saat rasa nyeri dan penyakit menyertai masa senja mereka. Ia (korupsi)
mengurangi bantuan bagi mereka yang tertimpa bencana. Korupsi juga
menggosongkan isi piring mereka yang kelaparan, namun tetap membayar pajak demi
layanan sosial yang kelaparan, namun tetap membayat pajak demi layanan sosial
yang mereka harapkan manfaatnya. (Eligo Ayala, Bern, Switzerland:1915).)
Eligo ingin
menyampaikan bahwa korupsi secara tidak langsung sangat merugikan masyarakat.
Dana yang seharusnya menjadi hak milik rakyat harus “dicubit” oleh para
koruptor yang tersisa hanyalah
“ampas” sisa gigitan koruptor sehingga menambah
penderitaan rakyat jelata.
Selama periode
Januari-Juni 2010 saja, sesuai data
Indonesia Corruption Watch (ICW), ditemukan 176 korupsi di pemerintahan
pusat dan daerah dengan 411 orang tersangka dengan potensi kerugian negara
sekitar Rp 2,102 triliun. Mereka bukan seluruhnya pejabat karena ada juga
pengusaha dan masyarakat yang terjerat korupsi. Ini berarti setiap bulan
ditemukan sekitar 30 kasus terungkap dengan rata-rata kerugian negara 350,5
miliar per bulan.
Menteri dalam
negeri Gamawan Fauzi menyebutkan ada 155
bupati atau wali kota yang diperiksa atau masuk penjara karena terkait kasus
korupsi. Ada 17 gubernur atau mantan gubernur yang juga masuk penjara atau
menjadi tersangka karena kasus korupsi.
Bahkan, dia menyebutkan setiap minggu ada saja seorang kepala daerah yang
ditetapkan sebagai tersangka perkara
korupsi.
Wakil
koodinator ICW Adnan Topan mengatakan, banyaknya kepala daerah yang terjerat
korupsi mengindikasikan kualitas demokrasi memburuk. Pilkada yang buruk
melahirkan pejabat berkualitas buruk. Kondisi ini diawali dari buruknya rekrutmen politik di partai politik. Parpol
masih memelihara tradisi politik uang dalam mengajukan calon pejabat publik.
Saking
maraknya praktik korupsi ini, dalam survei nasional tentang korupsi di indonesia yang dilakukan kemitraan tahun
2010, sebanyak 70 persen dari 2.300 responden membenarkan adanya korupsi yang
mengakar dan membudaya.
“korupsi
terjadi sejak di jalanan dan angkutan umum sampai kepusat pusaran uang negara
dan bahkan para penegak hukum” kata wakil ketua KPK Bibit Samad Rianto dalam
bukunya yang berjudul Koruptor Go To Hell
(2009).
Korupsi adalah
kejahatan luar biasa (extraordinary crime),
bahkan korupsi disetarakan dengan teroris. Seperti halnya teroris yang diatasi
oleh Densus 88 yang bertindak represif,
seharusnya KPK juga bersikap seperti Densus 88, mengeksekusi para koruptor
sampai keakar akarnya.
Oleh karena
Korupsi “extra ordinary crime” tentu
diperlukan cara-cara yang “extra ordinary
“juga untuk memberantasnya. niat DPR untuk merevisi UU 32 tahun 2002 tentu
dinilai belum tepat. Karena KPK masih merasa nyaman berada dinaungan UU 32
tahun 2002. Menurut saya Setidaknya ada dua alasan kenapa UU 32 2002 belum
saatnya direvisi. Pertama, belum dianggap urgen, karena selama ini KPK
tidak merasa terhambat untuk menjerat para koruptor.
Kedua, Timing tidak tepat, karena
kasus-kasus besar seperti kasus bank
century, proyek ambalat, simulator sim masih terkatung-katung. Apabila
dilakukan revisi dalam waktu dekat ini ditakutkan dapat menghambat pekerjaan
KPK itu sendiri.
Andaikata DPR
tetap merevisi UU KPK dan menjadikan
kewenangan KPK teramputasi, serta para
koruptor kelas kakap tak terjamah sedikit pun. rakyat bukanlah “keledai” yang
tak berdaya. Rakyat adalah penguasa, dan pemerintah adalah “pelayan” rakyat.
Sebagai penguasa kapan pun bisa mengusir
pelayannya, Jika pekerjaannya tidak memuaskan.
Tentu masih terekam dalam benak kita bagaimana rakyat, aktivis dan
mahasiswa “mencambuk” rezim orde baru sampai lari tunggang langgang dari tahta
kediktatorannya.
Tentu kita
semua tidak menghendaki masa yang kelam
itu terulang kembali. Mungkin tidak akan terjadi jika “service” pemerintah kepada rakyat baik, tidak “menjarah” harta
tuannya sendiri.
Rakyat
percaya dengan KPK untuk memberantas penyakit
yang telah berakar urat, beranak pinak ini. Peyakit yang bagaikan “zombie” menyebarkan virusnya tidak hanya dapat merusak
“moral” tapi juga membuat
masyarakat terus terbelenggu kemiskinan dan terpasung oleh
ketidakadilan.
Mengutip kata
bijak Mahatma Gandhi Poverty is the worst
form of violence (Kemiskinan adalah bentuk terburuk dari kekerasan).
Korupsi telah “mengutuk” rakyat menjadi miskin dan
melarat. Selama koruptor terus “menjarah” harta rakyat selama itu pula rakyat
”terbelenggu” oleh “kutukan kemiskinan”.
Tidak ada cara
lain selain membasmi para koruptor agar terlepas dari “kutukan kemiskinan”
Karena korupsi
adalah Kejahatan atas kemanusian (crime against humanity.)
Selama rakyat
indonesia belum terlepas dari “kutukan” kemiskinan, selama itu pula bentuk
kekerasan terus “berkibar” menancap
diatas penderitaan rakyat.